Pemutih Beras
, Berbahayakah ?
SETELAH
kasus pengawet natrium benzoate pada makanan-minuman (mamin) olahan beberapa
waktu lalu menimbulkan keresahan masyarakat dan produsen, kini muncul isu baru
tentang beras dengan bahan pemutih, khlorin, setelah Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menemukan beras itu dijual di Pasar Tangerang.
Akibat berita itu, ditambah dengan terbatasnya pengetahuan masyarakat (baca: konsumen) tentang bahan pengawet, maka dampaknya bukan saja masyarakat dibuat bingung tetapi produsen pun bisa dipastikan 'terpukul'. Ini merujuk pada peristiwa pengawet natrium benzoat pada mamin olahan beberapa waktu lalu, berdampak pada keresahan masyarakat akan pengawet itu menyebabkan produk mamin tidak laku dan omzet penjualan sejumlah produsen pun anjlok . Karena itu, tidak menutup kemungkinan produsen beras pun akan mengalami hal sama.
Fakta di lapangan menunjukkan, konsumen (dalam hal ini ibu rumah tangga) pada umumnya mencari dan membeli beras yang putih dan bersih. Disadari atau tidak, bila dihadapkan pada dua pilihan beras putih dan bersih dengan beras putih kotor kecokelatan, pasti pilihan dijatuhkan pada yang pertama. Padahal pilihan kedua, beras putih kotor kecokelatan, boleh jadi kandungan gizinya lebih lengkap dan higienis.
Di saat proses padi menjadi beras dengan teknik slyp saat ini, ketika fraksi atau gesekan mesin dengan kulit gabah akan mengikis sebagian permukaan luar gabah (disebut lapisan aleuron), maka permukaan beras akan tampak bening dan lebih putih, sehingga seyogianya konsumen tidak perlu lagi 'menuntut' beras lebih putih lagi.
Tetapi jika dikaji lebih jauh, mengapa produsen mamin maupun beras menambahkan pengawet atau pemutih, ini semata-mata karena memenuhi tuntutan konsumen. Di pasar, konsumen selalu memilih mamin yang awet, tahan lama, tidak mudah jamuran, tidak mudah busuk, dan lainnya. Untuk beras pun memilih yang putih dengan dalih nasinya bisa lebih putih dan pulen. Kosekuensinya, produsen kemudian bisa menambahkan bahan pengawet atau pemutih.
Celakanya, ketika persoalan penembahan bahan pengawet atau pemutih itu mencuat ke permukaan, masyarakat kemudian ribut.
Akibat berita itu, ditambah dengan terbatasnya pengetahuan masyarakat (baca: konsumen) tentang bahan pengawet, maka dampaknya bukan saja masyarakat dibuat bingung tetapi produsen pun bisa dipastikan 'terpukul'. Ini merujuk pada peristiwa pengawet natrium benzoat pada mamin olahan beberapa waktu lalu, berdampak pada keresahan masyarakat akan pengawet itu menyebabkan produk mamin tidak laku dan omzet penjualan sejumlah produsen pun anjlok . Karena itu, tidak menutup kemungkinan produsen beras pun akan mengalami hal sama.
Fakta di lapangan menunjukkan, konsumen (dalam hal ini ibu rumah tangga) pada umumnya mencari dan membeli beras yang putih dan bersih. Disadari atau tidak, bila dihadapkan pada dua pilihan beras putih dan bersih dengan beras putih kotor kecokelatan, pasti pilihan dijatuhkan pada yang pertama. Padahal pilihan kedua, beras putih kotor kecokelatan, boleh jadi kandungan gizinya lebih lengkap dan higienis.
Di saat proses padi menjadi beras dengan teknik slyp saat ini, ketika fraksi atau gesekan mesin dengan kulit gabah akan mengikis sebagian permukaan luar gabah (disebut lapisan aleuron), maka permukaan beras akan tampak bening dan lebih putih, sehingga seyogianya konsumen tidak perlu lagi 'menuntut' beras lebih putih lagi.
Tetapi jika dikaji lebih jauh, mengapa produsen mamin maupun beras menambahkan pengawet atau pemutih, ini semata-mata karena memenuhi tuntutan konsumen. Di pasar, konsumen selalu memilih mamin yang awet, tahan lama, tidak mudah jamuran, tidak mudah busuk, dan lainnya. Untuk beras pun memilih yang putih dengan dalih nasinya bisa lebih putih dan pulen. Kosekuensinya, produsen kemudian bisa menambahkan bahan pengawet atau pemutih.
Celakanya, ketika persoalan penembahan bahan pengawet atau pemutih itu mencuat ke permukaan, masyarakat kemudian ribut.
Persoalannya,
sampai seberapa jauh sebenarnya dalam kasus bahan pemutih, khlorin pada beras
bisa ditoleransi dan dinyatakan tidak berbahaya. Ini perlu disampaikan secara
transparan, karena jika tidak bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, untuk membuat kondisi sosial ekonomi masyarakat kacau. Ke
depan melalui penjelasan yang transparan, kiranya hal-hal semacam ini tidak
perlu terjadi lagi dan berulang.
Tulisan
berikut dalam konteks memberikan penjelasan berkait dengan penggunaan bahan
tambahan makanan yang sering digunakan dan bagaimana pengaruhnya pada tubuh
manusia. Dalam beberapa kasus penggunaan bahan tambahan itu memang diperlukan,
oleh karena itu sebaiknya memang digunakan bahan-bahan tambahan yang memang
benar-benar aman.
Bahan
Tambahan Makanan
Berkait
dengan Bahan Tambahan Makanan (BTM) sebagaimana bisa didefinisikan sebagai
bahan kimia yang ditambahkan dan dicampurkan pada waktu proses pembuatan mamin,
ada dua golongan. Pertama, BTM sengaja, yaitu tambahan yang diberikan dengan
sengaja. Bertujuannya untuk meningkatkan mutu mamin (konsistensinya, nilai
gizi, cita rasa), mengendalikan keasaman dan kebasaan, menjaga tekstur dan
warna, mencegah oksidasi, menghambat pertumbuhan bakteri, atau jamur dan
lainnya.
Kedua,
BTM tidak sengaja, yaitu tambahan yang sifatnya sudah ada dalam mamin dalam
jumlah sedikit. Pengawet dan pemutih merupakan salah satu penggunaan BTM.
Pengawet terdiri atas senyawa organik dan anorganik. Tentu pengawet organik
lebih sering digunakan dalam bentuk asam maupun garamnya, seperti yang sering
digunakan sebagai pengawet organik adalah asam sorbat, asam propionat, asam
benzoat, dan asam asetat. Sedangkan pengawet anorganik yang masih sering
digunakan, sulfit, nitrat, dan nitrit.
Asam
benzoat (C6H5COOH) merupakan pengawet yang paling sering digunakan terutama
pada mamin asam, karena bekerjanya efektif pada pH 2,5-4,0. Benzoat digunakan
karena bisa mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri. Umumnya produsen menggunakan
bentuk garamnya, yaitu natrium benzoat. Mengapa? Karena di dalam tubuh, garam
tersebut akan terurai menjadi asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Di samping
itu tubuh mempunyai sistem autodetoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga
tidak terakumulasi dalam jaringan tubuh selama tidak dikonsumsi berlebihan.
Umumnya
asam benzoat bisa bereaksi dengan glisin membentuk asam hipurat yang tidak
berguna dan akan dibuang oleh tubuh. Asam sorbat juga sering ditambahkan pada
mamin untuk mencegah pertumbuhan kapang dan bakteri dengan cara mencegah kerja
enzim dehidrogenase terhadap lemak. Efektif bekerja pada pH basa, 6,5. Jadi
untuk mamin rasa asam memang sebaiknya tidak menggunakan pengawet jenis sorbet.
Bagaimana
dengan khlorin (Cl2) pada pemutih beras? Ini merupakan salah satu zat pemutih
yang memang fungsinya untuk pemutih tepung, sehingga sering juga ditambahkan
sebagai pemutih beras. Ada beberapa pemutih pangan yang lazim digunakan yaitu
nitrogen dioksida (NO2), nitrosil khlorida (NOCl), khlorin dioksida (ClO2).
Masing-masing mempunyai daya pengoksidasi yang tinggi, sehingga tidak bisa
digunakan sebagai BTM mamin berlemak, karena akan memicu ketengikan.
Khusus untuk khlorin sebenarnya merupakan salah satu unsur anorganik yang harus ada dalam tubuh sebanyak 0,15 persen dari berat, untuk membentuk jaringan tubuh, organ, dan sistem tubuh. Sementara itu khlorin (yang berfungsi sebagai pemutih) berupa gas, sehingga pada saat tepung diolah menjadi makanan, karena adanya pengaruh panas, maka gas akan hilang. Demikian pula khlorin yang kemungkinan 'terjebak' dalam beras adalah khlorin retensi. Artinya, bila beras dicuci, maka khlorin akan ikut dengan air pencuci, sehingga nasi yang dihasilkan, bebas khlorin.
Yang harus mendapat perhatian sebenarnya adalah, bagaimana sintesis khlorinnya, apakah khlorin disentesis dari bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan atau tidak. Bila ditengarai berbahaya, maka tidak boleh digunakan untuk BTM. Uraian tadi menunjukkan bahwa pengawet mamin tidak perlu diragukan penggunaannya selama ditambahkan sesuai takaran yang diizinkan dan dihitung sesuai kebutuhan sasarannya.
Umumnya BTM sintetik samacam pengawet mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil dan lebih murah. Namun demikian kelemahannya sering terjadi ketidaksempurnaan proses sintesisnya, sehingga berbahaya bagi kesehatan dan kadang-kadang mengandung zat yang karsinogenik, zat yang bisa memicu terjadinya kanker. Oleh sebab itu pemakaian pengawet harus jelas dan transparan. Artinya, harus mencantumkan kadar pengawet pada label kemasan harus jelas.
Tentang pelabelan ini, semua sebenarnya sudah diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988. Sedikitnya ada tiga hal yang perlu ditertibkan lagi oleh pihak berwenang dalam kaitan BTM. Pertama, berkait dengan kewajiban produsen untuk mencantumkan konsentrasi (ppm) pengawet, bukan jumlahnya.
Kedua, mengumumkan ke masyarakat jenis dan nama serta konsentrasi masing-masing BTM yang diizinkan, sehingga konsumen bisa ikut mengontrol (bukan hanya menuntut) produk yang dikonsumsinya dengan benar. Ketiga, bisa dipakai sebagai sarana mendidik dan mencerdaskan masyarakat untuk lebih pandai memilih dan mengonsumsi mamin kegemarannya, sehingga suatu saat kalau ada pemberitahuan terkait BTM, sudah tidak cemas lagi, bisa berpikir lebih jernih dalam menerima informasi dan tidak perlu lagi takut dalam mengonsumsinya.
Khusus untuk khlorin sebenarnya merupakan salah satu unsur anorganik yang harus ada dalam tubuh sebanyak 0,15 persen dari berat, untuk membentuk jaringan tubuh, organ, dan sistem tubuh. Sementara itu khlorin (yang berfungsi sebagai pemutih) berupa gas, sehingga pada saat tepung diolah menjadi makanan, karena adanya pengaruh panas, maka gas akan hilang. Demikian pula khlorin yang kemungkinan 'terjebak' dalam beras adalah khlorin retensi. Artinya, bila beras dicuci, maka khlorin akan ikut dengan air pencuci, sehingga nasi yang dihasilkan, bebas khlorin.
Yang harus mendapat perhatian sebenarnya adalah, bagaimana sintesis khlorinnya, apakah khlorin disentesis dari bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan atau tidak. Bila ditengarai berbahaya, maka tidak boleh digunakan untuk BTM. Uraian tadi menunjukkan bahwa pengawet mamin tidak perlu diragukan penggunaannya selama ditambahkan sesuai takaran yang diizinkan dan dihitung sesuai kebutuhan sasarannya.
Umumnya BTM sintetik samacam pengawet mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil dan lebih murah. Namun demikian kelemahannya sering terjadi ketidaksempurnaan proses sintesisnya, sehingga berbahaya bagi kesehatan dan kadang-kadang mengandung zat yang karsinogenik, zat yang bisa memicu terjadinya kanker. Oleh sebab itu pemakaian pengawet harus jelas dan transparan. Artinya, harus mencantumkan kadar pengawet pada label kemasan harus jelas.
Tentang pelabelan ini, semua sebenarnya sudah diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988. Sedikitnya ada tiga hal yang perlu ditertibkan lagi oleh pihak berwenang dalam kaitan BTM. Pertama, berkait dengan kewajiban produsen untuk mencantumkan konsentrasi (ppm) pengawet, bukan jumlahnya.
Kedua, mengumumkan ke masyarakat jenis dan nama serta konsentrasi masing-masing BTM yang diizinkan, sehingga konsumen bisa ikut mengontrol (bukan hanya menuntut) produk yang dikonsumsinya dengan benar. Ketiga, bisa dipakai sebagai sarana mendidik dan mencerdaskan masyarakat untuk lebih pandai memilih dan mengonsumsi mamin kegemarannya, sehingga suatu saat kalau ada pemberitahuan terkait BTM, sudah tidak cemas lagi, bisa berpikir lebih jernih dalam menerima informasi dan tidak perlu lagi takut dalam mengonsumsinya.
DR Nurul
L Soeida Soeid, MS
Dosen Jurusan FMIPA Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dosen Jurusan FMIPA Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.